Di Saat-saat Sulit

Alhamdulillah. Segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah subhanahu wata’ala. HIngga hari ini, kita diberikan rahmat dan karunia-Nya berupa kemudahan-kemudahan hidup. Juga yang paling penting adalah nikmat keimanan. Dengan keimanan ini, kita menjadi mulia di hadapan Allah subhanahu wata’ala. Kita menjadi orang yang mempunyai kesempatan untuk bisa memasuki surganya Allah. Dan apalagi yang kita harapkan di dunia ini kecuali mendapat ridha dari Allah subhanahu wata’ala.

Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada baginda nabi Muhammad shollalahu alaihi wassalam. Manusia mulia yang menjadi panutan. Kita mengambil contoh dan teladan dari semua gerak-gerik, kata-kata, dan keputusannya. Semoga dengan mencintai beliau dan keluarganya serta mengikuti sunnahnya, kita berharap mendapatkan ridha dan syafaatnya kelak di hari kiamat.

Seorang muslim itu memang diuji pada saat-saat sulit. Itulah namanya ujian. Kalau seandainya tidak ada saat-saat sulit maka tidak akan ada perkembangan bagi seorang muslim. Kalau kita tengok di kehidupan masa lalu, apa sih yang membuat kita tumbuh dan berkembang dalam kehidupan selain dari makan makanan bergizi? Apa yang membuat kita menjadi naik ke kelas yang lebih tinggi? Adalah karena kita mengalami saat-saat sulit dan belajar untuk menghadapinya.Ujian ini pun tidak hanya berlaku untuk kita, melainkan semua orang, termasuk orang-orang mulia seperti nabi.

Bukan hanya manusia, ternyata saat-saat sulit juga bisa kita temukan pada barang. Misalnya tembikar, guna mendapatkan bentuk tertentu maka ia harus dibakar. Tembikar dibakar lebih dari sekali dengan suhu yang sangat tinggi. Untuk mendapatkan emas yang murni, kita mesti bersusah payah. Emas harus dibakar dan diuji dalam temperatur yang tinggi agar kemurniannya meningkat dan nilainya menjadi lebih berharga.

Setiap orang memiliki titik-titik kritis dalam hidupnya. Titik terendah. Pada titik itulah ditentukan nilai sebenarnya dari orang tersebut. Bagaimana ia merespon peristiwa yang menimpanya itu, baik dari perkataan yang terucap atau sikap yang dipilih.

Pada setiap kali shalat, kita meminta petunjuk dan bimbingan kepada Allah untuk menghadapi kehidupan.Kita memohon supaya ditujukkan pada jalan lurus.

Tunjukilah kami jalan yang lurus,
(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

Jalan lurus yang ingin ditunjukkan adalah jalan atau langkah kehidupan yang telah dilalui oleh orang-orang yang telah diberikan kenikmatan. Para ulama tafsir menjelaskan bahwa ada 4 golongan orang yang termasuk ke dalamnya, yaitu para nabi, syuhada (orang-orang yang mati syahid), siddiqin (orang-orang atau sahabat yang berada di sisi nabi yang membenarkan dan mengimaninya) dan shalihin (orang-orang yang berpegang teguh pada ajaran agama Allah dan senantiasa beramal baik/shalih). Dan keempat jalan ini tidak pernah mudah untuk dilalui.

Sebagai orang yang beriman, kita juga pasti akan diuji. Ujian ini berfungsi untuk menyaring mana mukmin yang bersungguh-sungguh beriman kepada Allah dan mana orang-orang yang munafik dan fasik.

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?
Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.
Ataukah orang-orang yang mengerjakan kejahatan itu mengira bahwa mereka akan luput (dari azab) Kami? Amatlah buruk apa yang mereka tetapkan itu.
Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu, pasti datang. Dan Dialah Yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.

Semoga bermanfaat.

###

Kajian selengkapnya bisa ditonton di bawah ini:

Yuk kaji ilmu lainnya di sini.

Sabar dan Syukur

Semoga Allah menjaga hati kita saat sedang diuji dan diberi nikmat oleh-Nya sehingga bisa menjadi mukmin yang ajaban (mengagumkan). Kalau diuji maka bersabarlah karena itu kebaikan. Kalau diberikan kenikmatan maka bersyukurlah, karena itu pula kebaikan.

Ada banyak kebaikan yang diberikan oleh Allah kepada mereka yang bersabar. Pun ketika diberi nikmat lalu bersyukur maka Allah akan menambahkan nikmat untuk hamba-Nya tersebut. Menjadi orang beriman itu hidupnya tak ada beban. Semua hal yang terjadi kepadanya adalah kebaikan.

Tak ada ruginya menjadi orang beriman. Setiap orang akan diuji. Varian ujiannya berbeda menimpa setiap orang. Manusia diuji dari tiga hal yaitu ujian fisik (misalnya sakit), harta (kekayaan, karier, pekerjaan, usaha, bisnis dan jabatan) dan perasaan (merasa hati tidak enak seperti gelisah, kehilangan orang yang disayangi).

Orang-orang beriman tetap beramal sholeh dalam menggunakan hartanya (infaq di jalan Allah), baik dalam keadaan lapang dan sempit. Saat ia berkecukupan atau miskin, ia tetap berbuat kebaikan. Ini mukmin yang keren banget. Ia tidak pernah membiarkan kesempatan untuk berbuat baik lolos dari genggamannya. Ia tetap beramal sholeh ketika dalam kondisi diberi nikmat atau sedang diuji.

Contoh orang-orang yang tetap berinfaq dalam keadaan sempit adalah kebaikan yang dilakukan oleh kaum Anshar (penolong) dari kota Madinah. Ketika kaum Muhajirin (orang yang berhijrah dari Mekah) datang ke kota Madinah, mereka berebutan berbuat kebaikan. Segala hal kebaikan yang bisa diperbuat, mereka segera tunaikan. Ada yang memberikan harta, rumah, tempat berdagang, modal usaha, tanah bahkan mengenalkan calon istri. Tidak semua kaum Anshar memiliki kelapangan harta, tetapi hal itu tidak menyurutkan niat mereka untuk membantu saudaranya dari Mekah. Segalanya dilakukan. Kaum Anshar mendahulukan kebutuhan kaum Muhajirin, karena mereka beriman. Mereka yakin akan janji Allah dan Rasul-Nya bahwa siapa yang berbuat baik akan mendapatkan kebaikan pula dari Allah.

Sebagai orang yang beriman, apapun yang menimpa terhadap diri, baik senang atau susah akan diterima dengan baik. Kalau kamu saat ini sedang diuji, bersabarlah. Pun bila kenikmatan yang kini kamu rasakan maka bersyukurlah. Semakin banyak bersyukur, nikmat yang kamu rasakan justru akan ditambah oleh Allah.

Yuk, tetap semangat menjalani hidup ini. Ujian dan nikmat akan tetap kita hadapi setiap hari. Jadilah mukmin yang mengagumkan!

Hadits Muslim Nomor 5318

Telah menceritakan kepada kami [Haddab bin Khalid Al Azdi] dan [Syaiban bin Farrukh] semuanya dari [Sulaiman bin Al Mughirah] dan teksnya meriwayatkan milik Syaiban, telah menceritakan kepada kami [Sulaiman] telah menceritakan kepada kami [Tsabit] dari [Abdurrahman bin Abu Laila] dari [Shuhaib] berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: “Perkara orang mukmin mengagumkan, sesungguhnya semua perihalnya baik dan itu tidak dimiliki seorang pun selain orang mukmin, bila tertimpa kesenangan, ia bersyukur dan syukur itu baik baginya dan bila tertimpa musibah, ia bersabar dan sabar itu baik baginya.”

###

Yuk nongkrong bareng UHA di sini!

Perbaikilah Shalatmu, Hidupmu Pasti Berubah

Allah berfirman :

Kita sering mendengar ayat ini disampaikan oleh para ulama, da’i dan ustadz, tentang bagaimana cara supaya mendapatkan pertolongan dari Allah. Yaitu dengan melakukan shalat.

Banyak orang yang bilang, “Saya shalat, tapi hidup saya gini-gini aja.”

“Saya sudah shalat, tapi kok doa saja gak diijabah.”

“Saya sudah shalat, tapi masalah saya belum selesai.”

“Saya sudah shalat, tapi musibah yang menimpa terus beruntun tiada henti.”

Kita perlu belajar shalat seperti apa yang bisa mendatangkan pertolongan Allah tersebut. Mari kita renungkan sebuah kisah yang pernah disampaikan oleh Annas bin Malik.

Dahulu di masa nabi Muhammad, ada seorang laki-laki di kota Madinah. Ia melakukan perjalanan antara Syam dan Madinah untuk berdagang. Di tengah perjalanan, laki-laki ini dirampok. Perampok itu menghunuskan pedang ke arahnya.

Laki-laki itu berkata, “Wahai fulan, jika kamu ingin mengambil hartaku, ambillah. Lalu izinkan aku untuk melanjutkan perjalanan.”

Perampok itu menjawab, “Harta ini telah menjadi milikku. Sekarang aku ingin membunuhmu.”

Merasa tidak punya pilihan, laki-laki ini memohon. “Wahai fulan, jika kau ingin membunuhku, lakukanlah. Tetapi sebelum itu, berikanlah aku kesempatan untuk melaksanakan shalat dua rakaat.”

Perampok setuju dan memberikan waktu baginya untuk shalat. Ia pun shalat dengan sangat khusyu. Dalam shalatnya, usai membaca Alfatihah, ia membaca surat Annaml ayat 62,

Ia membaca surat itu dengan penuh penghayatan dan perenungan. Ia mentadabburi ayat ini sehingga muncullah rasa yakin di dalam hatinya bahwa harapan satu-satunya adalah Allah. Selepas shalat ia mengangkat kedua tangannya. Ia berdoa dengan menyebut nama-nama Allah yang mulia.

“Wahai Tuhan yang Maha Pengasih, Wahai Tuhan yang Maha Penyayang, Wahai Tuhan yang memiliki Arrasy yang mulia, Wahai Tuhan yang menampakkan makhluk, Wahai Tuhan yang Maha mengembalikan. Wahai Tuhan yang Maha melaksanakan apa yang Dia kehendaki, aku mohon dengan cahaya-Mu yang memenuhi sudut-sudut Arrasy-Mu, hamba mohon kepada-Mu yang menguasai mahkluk-Mu, dan dengan rahmat-Mu yang meliputi segala sesuatu, tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau, Ya Allah. Wahai Tuhan yang Maha Penolong, tolonglah aku.”

Tiba-tiba setelah selesai berdoa muncullah seorang laki-laki dengan jubah warna hijau, menunggangi kuda berwarna abu-abu, dan menghunus pedang ke arah perampok. Perampok itu melawan dengan pedangnya tapi ia berhasil dikalahkan. Ia dibunuh oleh laki-laki  misterius tadi.

Si pedagang bertanya, “Siapakah Tuan ini?”

Penunggang kuda itu menjawab, “Ketahuilah, saya adalah malaikat yang turun dari langit ke-3. Ketika kamu berdoa yang pertama kepada Allah, kami mendengar suara gemerincing dari pintu-pintu langit. Para malaikat bertanya-tanya tentang apa yang sedang terjadi. Kemudian muncullah doamu yang kedua hingga pintu=pintu langit terbuka dan keluarlah cahaya yang sangat benderang. Dan di doamu yang ketiga, datanglah Malaikat Jibril kepada kami seraya berseru, ‘Siapakah di antara kalian, para malaikat, yang mau menolong hamba Allah itu?’ Lalu aku memohon kepada Allah supaya diizinkan melaksanakan tugas ini.

Wahai hamba Allah, ketahuilah, barangsiapa yang berdoa seperti yang kau baca tadi ketika dalam kesedihan, penderitaan dan dalam keadaan sedang susah maka Allah akan melepaskanmu dari kesedihan dan menolongmu.”

Kawan, itulah salah satu kisah dari keajaiban shalat. Seorang pedagang yang terancam nyawanya ditolong oleh Allah usai shalat dan berdoa. Pertanyaannya adalah apa rahasia shalat pedagang itu sehingga Allah menolongnya dari kesulitan?

Para ulama menjelaskan bahwa pedagang itu melaksanakan shalat dengan ihsan. Seperti yang dikatakan nabi tentang bab ihsan. Ihsan adalah kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu

Nabi mengajarkan kepada kita tentang shalat yang langsung terkoneksi dengan Allah. Terkoneksi dalam yakin dan iman. Artinya jika kita shalat seolah-olah bisa melihat Allah, lalu dalam kondisi itu kita memohon pertolongan Allah dengan penuh keyakinan, itulah shalat yang akan mendatangkan pertolongan Allah.

Atau jika kita tidak bisa membayangkan sedang melihat Allah, karena itu memang sulit, maka yakinlah bahwa Allah sedang memperhatikanmu. Allah pasti akan melihat dan mendengarmu. Allah sedang menunggu apa yang kita butuhkan.

Orang yang shalat dalam keadaan seolah-olah sedang bertemu dengan Allah lalu ia meminta pertolongan Allah, maka shalat seperti itulah yang disebutkan dalam surat Albaqarah ayat 153 tadi. Semakin sering kita melakukan shalat dengan ihsan, maka Insya Allah shalat sudah menjadi jalan keajaiban dalam kehidupan kita.

Mari perbaiki shalat kita, Kawan! Mulai dari wudhu yang tertib, pakaian dan tempat sujud yang bersih serta syarat-syarat dan rukun shalat lainnya yang mesti dipenuhi. Lalu shalatlah dengan sikap ihsan.

Keterangan :

Hadits tentang ihsan bisa kamu baca di pos Ishfah Seven dengan judul Islam, Iman, Ihsan dan Kiamat.

###

Yuk nongkrong bareng UHA di sini!

Stasiun 05 – Wara’

Qira’aah Kitab Arrisalah Al-Qushairiyyah oleh Ustadz Prof. H. Abdul Somad, Lc., MA. Ph.D

Menjaga diri dari yang haram disebut taqwa. Sedangkan menjauhkan diri dari yang syubhat disebut wara’. Bicara soal wara’ bukan bicara tentang halal dan haram.

Abu Dzar Al-Ghifari berkata, “Rasul bersabda, ‘Kalau mau melihat kualitas keislaman seseorang, lihatlah bagaimana ia mampu meninggalkan hal-hal yang tidak penting menurut syariat Islam.’”

Imam Ibrahmim bin Adham berkata, “Wara’ adalah meninggalkan semua yang syubhat (samar-samar).”

Abu Bakar Siddiq radiyallahu anhu berkata, “Kami meninggalkan 70 pintu halal karena kami takut terjerumus pada satu pintu yang haram.”

Rasulullah berkata kepada Abu Hurairah, “Wahai Abu Hurairah, jadilah engkau orang yang wara’ maka engkau akan menjadi orang yang paling banyak beribadah kepada Allah.”

Imam Sirri Assaqati berkata, “Orang-orang wara’ (pada masa itu) ada enpat yaitu, Khudaifah Almurtais, Yusuf bin Asbat, Ibrahim bin Adham dan Sulaiman Alhowwas. Mereka memandang sifat wara’ dengan teliti dan seksama. Ketika khawatir akan terjerumus (pada hal haram) maka mereka segera melakukan taqollul (meminimalisir) bicara, bergaul, pandangan, pendengaran dan sikap lainnya.”

Imam Sibli berkata, “Wara’ adalah engkau menjaga dirimu dari semua hal selain Allah.”

Ishaq bin Khalaf berkata, “Wara’ adalah orang yang menjaga lidah (ucapan) dari perkataan buruk. Menjaga lidahnya ini lebih berharga daripada emas.”

Imam Abu Sulaiman Addarani berkata, “Wara’ adalah langkah pertama sebelum zuhud. Sedangkan qanaah itu satu sisi dari ridha.”

Imam Abu Usman berkata, “Orang yang wara’ itu hisabnya ringan.”

Imam Yahya bin Muadz berkata, “Orang wara’ itu jika ilmu sudah berkata ‘jangan’ maka dia tidak aka melakukan tanpa perlu banyak interpretasi (tidak ngeyel).”

Imam Abdullan bin Aljalla berkata, “Aku mendengar ada seseorang yang tinggal di Mekkah selama tiga puluh tahun. Dia tidak pernah minum air zamzam kecuali dengan menggunakan tali dan timba miliknya sendiri. Dia tidak mau makan makanan yang dikirim dari kota lain.”

Yahya bin Muadz berkata, “Wara’ itu memiliki dua sisi yaitu dzohir dan bathin. Wara’ pada  dzohir adalah dia hanya bergerak  (beramal) untuk Allah. Sedangkan wara’ pada bathin artinya tidak ada yang masuk ke dalam hatimu kecuali hanya Allah. “

Imam Yunus bin Ubaid berkata, “Wara’ adalah keluar dari semua hal yang samar-samar (syubhat) dan selalu instropeksi diri dalam setiap kedipan mata.”

Imam Syufan Assauri berkata, “Wara’ itu mudah. Kalau kamu merasa hatimu sempit (menolak melakukan sesuatu yang berkaitan dengan syubhat) maka tinggalkan.”

Imam Ma’ruf berkata, “Jagalah lisanmu dari terlalu banyak memuji-muji orang sebagaimana kamu menjaga lisanmu dari mencaci-maki orang.”

Imam Bisr bin Harits berkata, “Amal yang paling berat itu ada tiga. Pertama, mampu menjadi orang dermawan padahal dirinya dalam keadaan terbatas (sedikit harta). Kedua, mampu menjaga diri dari yang syubhat (bersikap wara’) meskipun tak ada orang lain yang melihat. Ketiga, mampu berkata tegas kepada orang yang ditakuti dan disegani.”

###

Penjelasan lebih lengkap bisa kamu dengar dan resapi langsung dari Ustadz Abdul Somad dengan melihat video di bawah ini.

Mari belajar hal lain dari Ustadz Abdul Somad di sini.

 

 

 

 

Apakah Niat Itu?

Penjelasan Hadits Tentang Niat

“Sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung dengan niat-niatnya dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan, maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya maka hijrahnya kepada Allah dan RasulNya dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak dia raih atau karena wanita yang hendak dia nikahi maka hijrahnya kepada apa yang dia hijrah kepadanya”.(HSR. Bukhary-Muslim dari ‘Umar bin Khoththob radhiallahu ‘anhu).

Takhrijul Hadits

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary no. 1, 54, 2529, 3898, 5070, 6689 dan 6953, Imam Muslim no. 3530 dan lain-lain dari jalan Yahya bin Sa’id Al-Anshory dari Muhammad bin Ibrahim at-Taimy dari ‘Alqomah bin Waqqosh Al-Laitsy dari ‘Umar ibnul Khoththob radhiallahu ‘anhu.

Syarh (Penjelasan)

Pembahasan tentang hadits ini dari beberapa sisi :

Hadits ini adalah salah satu dalil dari kaidah yang sangat agung dan bermanfaat yang berbunyi “Al-Umuru bimaqoshidiha” (Setiap perkara tergantung dengan maksudnya). Berkata Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah dalam Manzhumahnya :

“Niat adalah syarat bagi seluruh amalan, pada niatlah benar atau rusaknya amalan”.

Hal ini nampak jelas dari perkataan para ulama dalam menafsirkan hadits ini. Berkata Ibnu Rajab rahimahullah : “… dan ada kemungkinan taqdir (makna secara sempurna) dari sabda beliau “setiap amalan tergantung dengan niat-niatnya” adalah bahwa setiap amalan syah atau rusaknya, diterima atau ditolaknya, berpahala atau tidak berpahala- ditentukan oleh niat-niatnya, sehingga hadits ini menerangkan tentang hukum suatu amalan secara syar’i”. Lihat Fathul Bary (1/13)

Dan semakna dengannya perkataan Syaikh Sholih bin ‘Abdil ‘Aziz Alu Asy-Syaikh dalam syarh beliau terhadap hadits ini : “Sesungguhnya setiap amalan syah atau rusaknya, diterima atau ditolaknya- hanyalah dengan sebab niatnya”.

Sabda beliau, “dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan” memberikan tambahan makna yang tidak ditunjukkan oleh potongan hadits sebelumnya.

Berkata Ibnu Daqiqil ‘ Ied rahimahullah dalam Ihkamul Ahkam(1/10) : “(Lafadz ini) mengharuskan bahwa barangsiapa yang meniatkan sesuatu maka itu yang dia dapatkan dan semua yang dia tidak niatkan maka dia tidak akan mendapatkannya”.

Imam Bukhari menyebutkan hadits ini di awal kitab shahihnya sebagai mukadimah kitabnya, di sana tersirat bahwa setiap amal yang tidak diniatkan karena mengharap Wajah Allah adalah sia-sia, tidak ada hasil sama sekali baik di dunia maupun di akhirat. Al Mundzir menyebutkan dari Ar Rabi’ bin Khutsaim, ia berkata, “Segala sesuatu yang tidak diniatkan mencari keridhaan Allah ‘Azza wa Jalla, maka akan sia-sia”.

Abu Abdillah rahimahullah berkata, “Tidak ada hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih banyak, kaya dan dalamnya faidah daripada hadits ini”. Abdurrahman bin Mahdiy berkata, “Kalau seandainya saya menyusun kitab yang terdiri dari beberapa bab, tentu saya jadikan hadits Umar bin Al Khatthab yang menjelaskan bahwa amal tergantung niat ada dalam setiap bab”.

Mayoritas ulama salaf berpendapat bahwa hadits ini sepertiga Islam. Mengapa demikian? Menurut Imam Baihaqi, karena tindakan seorang hamba itu terjadi dengan hati, lisan dan anggota badannya, dan niat yang tempatnya di hati adalah salah satu dari tiga hal tersebut dan yang paling utama. Menurut Imam Ahmad adalah, karena ilmu itu berdiri di atas tiga kaidah, di mana semua masalah kembali kepadanya, yaitu:

  1. Hadits “Innamal a’maalu bin niyyah” (Sesungguhnya amal itu tergantung dengan niat).
  2. Hadits “Man ‘amila ‘amalan laisa ‘alaihi amrunaa fahuwa radd” (Barang siapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak kami perintahkan, maka amal itu tertolak).
  3. Hadits “Al Halaalu bayyin wal haraamu bayyin” (Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas).”

Di samping itu, niat adalah tolok ukur suatu amalan; diterima atau tidaknya tergantung niat dan banyaknya pahala yang didapat atau sedikit pun tergantung niat. Niat adalah perkara hati yang urusannya sangat penting, seseorang bisa naik ke derajat shiddiqin dan bisa jatuh ke derajat yang paling bawah disebabkan karena niatnya.

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membuatkan perumpamaan terhadap kaidah ini dengan hijrah; yaitu barang siapa yang berhijrah dari negeri syirik mengharapkan pahala Allah, ingin bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menimba ilmu syari’at agar bisa mengamalkannya, maka berarti ia berada di atas jalan Allah (fa hijratuhuu ilallah wa rasuulih), dan Allah akan memberikan balasan untuknya. Sebaliknya, barang siapa yang berhijrah dengan niat untuk mendapatkan keuntungan duniawi, maka dia tidak mendapatkan pahala apa-apa, bahkan jika ke arah maksiat, ia akan mendapatkan dosa.

Niat secara istilah adalah keinginan seseorang untuk mengerjakan sesuatu, tempatnya di hati bukan di lisan. Oleh karena itu, tidak dibenarkan melafazkan niat, seperti ketika hendak shalat, hendak wudhu, hendak mandi, dan sebagainya

Menurut para fuqaha’ (ahli fiqh), niat memiliki dua makna:

  1. Tamyiiz (pembeda), hal ini ada dua macam:
    Pembeda antara ibadah yang satu dengan yang lainnya. Misalnya antara shalat fardhu dengan shalat sunat, shalat Zhuhur dengan shalat Ashar, puasa wajib dengan puasa sunnah, dst.
    Pembeda antara kebiasaan dengan ibadah. Misalnya mandi karena hendak mendinginkan badan dengan mandi karena janabat, menahan diri dari makan untuk kesembuhan dengan menahan diri karena puasa.
  2. Qasd (meniatkan suatu amal “karena apa?” atau “karena siapa?”)
    Maksudnya apakah suatu amal ditujukan karena mengharap wajah Allah Ta’ala saja (ikhlas) atau karena lainnya? Atau apakah ia mengerjakannya karena Allah, dan karena lainnya juga atau tidak?

Hukum Niat

Niat adalah syarat sahnya amal. Ibnu Hajar Al ‘Asqalaaniy berkata, “Para fuqaha (ahli fiqh) berselisih apakah niat itu rukun1 (masuk ke dalam suatu perbuatan) ataukah hanya syarat (di luar suatu perbuatan)? Yang kuat adalah bahwa menghadirkan niat di awal suatu perbuatan adalah rukun, sedangkan istsh-hab hukm/menggandengkan dengan suatu perbuatan (tidak berniat yang lain atau memutuskannya2) adalah syarat.”

Yahya bin Katsir berkata, “Pelajarilah niat, karena niat itu lebih sampai daripada amal”. Abdullah bin Abi Jamrah berkata, “Aku ingin kalau seandainya di antara fuqaha (ahli fiqh) ada yang kesibukannya hanya mengajarkan kepada orang-orang niat mereka dalam mengerjakan suatu amal dan hanya duduk mengajarkan masalah niat saja”. Sufyan Ats Tsauriy berkata, “Dahulu orang-orang mempelajari niat sebagaimana kalian mempelajari amal”.

Sebagaimana dikatakan oleh Yahya bin Katsir di atas bahwa niat lebih sampai daripada amal, oleh karena itu Abu Bakr Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu dapat mengungguli orang-orang Khawarij (kelompok yang keluar dari barisan kaum muslimin dan memvonis kafir pelaku dosa besar) dalam hal ibadah karena niatnya, di samping itu amalan yang kecil akan menjadi besar karena niatnya. Sehingga dikatakan, “Memang Abu Bakr Ash Shiddiq dan sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dikalahkan ibadahnya oleh Khawarij, tetapi para sahabat mengungguli mereka karena niatnya”. Ibnu Hazm mengatakan, “Niat itu rahasia suatu ibadah dan ruhnya”.

Apa maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Amal itu tergantung niat?” Maksudnya adalah sahnya suatu amal dan sempurnanya hanyalah tergantung benarnya niat. Oleh karena itu apabila niat itu benar dan ikhlas karena Allah Subhaanahu wa Ta’aala maka akan sah pula suatu amal dan akan diterima dengan izin Allah Ta’ala. Atau bisa juga maksudnya adalah baiknya suatu amal atau buruknya, diterima atau ditolaknya, mubah atau haramnya tergantung niat.

Apa maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Dan seseorang hanya mendapatkan apa yang diniatkannya?” Maksudnya adalah seseorang mendapatkan pahala atau siksa terhadap amalnya tergantung niatnya, apabila niatnya baik maka akan diberi pahala, sebaliknya jika tidak baik maka akan mendapat siksa.

Sumber : Muslim – Sabarjunianto

###
Cek pos lainnya di sini.

Stasiun 04 – Taqwa

Qira’aah Kitab Arrisalah Al-Qushairiyyah oleh Ustadz Prof. H. Abdul Somad, Lc., MA. Ph.D

Orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang bertaqwa. Bukan yang paling kaya, tinggi jabatannya, cantik, tampan, hebat dan mashur melainkan orang yang paling takut kepada Allah.

Abu Said Alhudri bercerita, “Datang seorang laki-laki menjumpai nabi Muhammad shollalahu alaihi wassalam dan dia berkata, ‘Wahai nabi utusan Allah, berilah aku wasiat (pesan).’ Nabi Muhammad bersabda, ‘Hendaklah engkau takut kepada Allah (taqwa). Karena taqwa itu adalah kumpulan semua kebaikan. Hendaklah engkau berjihad karena jihad itu adalah rohbaniyyah  Hendaklah engkau banyak mengingat (berdzikir) Allah karena dzikir itu adalah cahaya bagimu.’”

Anas bin Malik berkata, “Yang disebut sebagai keluarga Muhammad itu adalah setiap orang mukmin yang bertaqwa.”

Hakikat taqwa adalah berlindung dari adzab Allah dengan taat kepada-Nya. Menjaga diri dari api, siapkan air. Menjaga diri dari hujan, siapkan payung. Menjaga diri dari panas, siapkah kipas. Dan jika kita mau menjaga diri dari adzab Allah yaitu dengan selalu taat kepada-Nya.

Awal ketaqwaan itu bermula dari menjaga diri dari kemusyrikan. Kemudian menjaga diri dari berbuat maksiat dan perbuatan jahat. Setelah itu menjaga dari hal yang samar-samar (syubhat). Dan terakhir meninggalkan perkara-perkara yang tidak penting.

Kalau mau melihat kualitas keislaman seseorang, lihatlah bagaimana cara dia meninggalkan ucapan dan tindakan atau perbuatan yang tidak penting bagi dirinya.

Imam Nushrobaji berkata, “Taqwa adalah orang yang menjaga dirinya dari yang selain Allah.”

Imam Abdilah Arruzbari berkata, “Taqwa adalah meninggalkan segala sesuatu yang membuatmu jauh dari Allah.”

Sifat orang yang bertaqwa (Attaqi) itu ada tiga yaitu tidak mengotori dzohirnya dengan hal yang bisa membuat lalai dari Allah, batinnya tidak dikotori dengan banyak alasan (saat ingin berbuat baik), dan dia mengalahkan nafsu dan memilih untuk mengikuti perintah Allah.

Ibnu Attha berkata,”Taqwa itu ada dzohir dan batin. Dzohirnya taqwa adalah dengan menjaga batasan (perintah dan larangan) yang telah ditetapkan oleh Allah. Batinnya taqwa adalah ada niat baik dan mensucikan niat hanya karena Allah subhanahu wataala.

Jika ada muslim yang ditanya kenapa ia tidak solat lalu ia menjawab, “Yang penting hati saya sudah bertaqwa.” Itu tidak benar. Sebab taqwa bukan hanya soal batin. Dzohirnya taqwa (dalam contoh ini adalah solat) mesti tetap ia kerjakan. Islam mengajarkan bahwa solat itu ada waktunya. Dalam sehari terdapat 5 kali waktu untuk solat. Jika ada yang tidak solat dengan alasan taqwanya sudah ada di hati maka itu tidak benar.

Sama halnya dengan perempuan muslimah yang diwajibkan memakai hijab. Lalu ada orang yang mengatakan, “Yang penting hatinya dulu yang berhijab.” Itu juga tidak benar.

Bertaqwalah dengan sebaik-batiknya taqwa. Berislamlah dengan sepenuhnya, jangan sepotong-sepotong.

Keterangan :

Rohbaniyyah artinya memutuskan diri dari hal yang lain untuk fokus beribadah.

###

Penjelasan lebih lengkap bisa kamu dengar dan resapi langsung dari Ustadz Abdul Somad dengan melihat video di bawah ini.

Mari belajar hal lain dari Ustadz Abdul Somad di sini.

Stasiun 03 – Uzlah

Qira’aah Kitab Arrisalah Al-Qushairiyyah oleh Ustadz Prof. H. Abdul Somad, Lc., MA. Ph.D

Setelah Taubat dan Mujahadah maka stasiun berikutnya dalah Khalwat dan Uzlah. Secara sederhana, Khalwat artinya pergi dari tempat keramaian menuju tempat sunyi atau menyepikan diri. Sedangkan Uzlah artinya mengasingkan diri dari keramaian.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Cara manusia untuk keluar dari kondisi sedang terjadi fitnah, hiruk-pikuk, huru-hara perang ada dua. Pertama, ambil tali kekang kudamu, duduklah di atas kuda dan yang kau cari adalah mati syahid atau berperang untuk mempertahankan akidah. Kedua, jika kamu tidak sanggup berjihad seperti itu maka naiklah ke atas bukit atau turunlah ke bawah lembah lalu sholatlah, bayar zakatlah dan memperbanyak ibadah hingga mati.” (Hadits Riwayat Muslim)

Sudah sampaikah kita di zaman yang banyak fitnah itu? Sebagian ulama mengatakan kita sudah sampai dan sedang menjalaninya. Inilah dasar orang untuk melakukan khalwat dan uzlah.

Etika melakukan uzlah:

  1. Mesti memiliki akidah dan keimanan yang kuat. Karena di tempatnya uzlah bisa terjadi banyak godaan dan gangguan dari setan.
  2. Memiliki ilmu syariat (fiqih shalat dan ibadah lain) supaya bangunan yang ia bangun itu menjadi kokoh.

Tujuan dari uzlah bukan sekedar meninggalkan kampung halaman tetapi mengubah sifat-sifat buruk yang ada di dalam diri menjadi lebih baik. Uzlah merupakan sebuah proses pendekatan diri kepada Allah.

Seseorang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah mesti melakukan khalwat dan uzlah ini supaya ia tidak bertumpu kepada orang lain. Hanyalah Allah sebagai satu-satunya penolong. Karena ketika seseorang terlalu berharap, bersandar dan mengandalkan bantuan dari orang lain maka saat orang itu tak ada, ia akan kehilangan semangat hidup dan tak tahu harus berbuat apa.

Orang yang sedang uzlah dilatarbelakangi oleh keinginan untuk melindungi orang lain dari kejahatan dirinya. Bukan uzlah karena takut akan kejahatan orang lain kepada dirinya. Jadi ini tentang melihat kepada diri sendiri.

Orang yang uzlah itu terbagi kepada dua. Pertama, orang yang menganggap dirinya kecil, rendah, hina dan tak punya apa-apa. Kedua, orang yang merasa dirinya lebih mulia, zuhur, pintar dan terhormat daripada orang lain. Kita mesti mengetahui apa motivasi seseorang itu melakukan uzlah. Uzlah dengan alasan yang pertama itulah uzlah yang benar.

Siapa saja orang yang memandang dirinya hina, kecil, rendah, bukan siapa-siapa dan tak punya apa-apa maka dialah orang yang tawadhu. Siapa saja yang merendahkan dirinya (melepaskan kesombongan) maka Allah yang akan meninggikan derajatnya.

Siapa saja orang yang merasa dirinya itu lebih tinggi daripada orang lain maka sesungguhnya dialah orang sombong. Tak akan masuk Surga seseorang jika di dalam dirinya terdapat kesombongan meskipun sebesar biji sawi.

Kamu yang sedang atau sudah uzlah, tanyalah kepada dirimu, mengapa kamu uzlah? Apakah karena alasan yang pertama atau kedua?

###

Penjelasan lebih lengkap bisa kamu dengar dan resapi langsung dari Ustadz Abdul Somad dengan melihat video di bawah ini.

Mari belajar hal lain dari Ustadz Abdul Somad di sini.

Stasiun 02 – Mujahadah

Qira’aah Kitab Arrisalah Al-Qushairiyyah oleh Ustadz Prof. H. Abdul Somad, Lc., MA. Ph.D

Mujahadah diambll dari tiga huruf yaitu jim, ha dan dal. Dari akar kata ini pula muncul kata ­jihad, ijtihad, dan mujtahid. Mujahadah artinya berjuang melawan hawa nafsu.

Nabi Muhammad shollallahu alaihi wassalam pernah ditanya, “Jihad apa yang paling utama?” Beliau menjawab, “Jihad yang paling utama adalah berani mengatakan keadilan di hadapan penguasa dzalim dan jahat.”

Contoh orang yang berani seperti itu adalah Nabi Musa kepada Firaaun dan Nabi Ibrahim kepada Namrud. Keduanya mengatakan kebenaran kepada raja yang dzalim. Juga Nabi Muhammad kepada pemimpin-pemimpin Mekkah yang kala itu masih kafir.

Apa korelasi antara mujahadah dengan keberanian mengutarakan kebenaran dan keadilan?

Banyak orang yang mampu menahan lapar, nafsu amarah atau bahkan menahan sakit. Tetapi tidak banyak orang yang berani mengatakan kebenaran kepada pemimpin yang dzalim. Jika ada orang yang berlaku seperti itu maka resikonya juga besar. Orang-orang ada yang tahu akan kebenaran tetapi tidak mau mengatakannya kepada pemimpin atau rajanya. Mereka takut akan keselamatan, kedudukan atau status sosialnya di masyarakat akan berubah. Ternyata ada nafsu yang lebih bahaya daripada nafsu makan, minum dan sex yang tidak terkontrol yaitu nafsu mendekatkan diri kepada kekuasaan.

Fi kulli harokah, barokah. Artinya dalam setiap pergerakan ada keberkahan. Misal jika berdzikir dengan menggerakkan tangan atau memakai tasbih (perbuatan dzohir) maka akan datang keberkahan ke dalam batinnya.

Manusia terdiri dari dzohir dan batin. Yang tampak dan tidak tampak. Tapi ada orang yang mengatakan bahwa manusia itu hanya terdiri dari yang tampak saja. Ada mata, telinga, lidah dan semua anggota tubuh. Tak ada unsur batin. Kepercayaan atau filsafat seperti ini disebut Filsafat Wujudiah. Wujud (tampak) disebut sebagai materi oleh orang-orang barat. Pemahaman tentang hal ini disebut juga sebagai materialisme. Pernah mendengar kalimat seeing is believeing? Yaitu kepercayaan hanya pada yang tampak saja. Sedangkan di Islam tidak seperti itu.  Kita mempercayai ada hal ghaib. Tuhan kita ghaib. Malaikat ghaib. Meskipun tak tampak tetapi kita bisa merasakannya.

Dasar mendekatkan diri kepada Allah itu ada 3 yaitu:

  1. Jangan makan kecuali benar-benar lapar.
  2. Jangan tidur kecuali sudah kantuk yang sangat berat.
  3. Jangan bicara kecuali hal yang sangat penting.

Artinya jika seseorang bisa sedikit makan, tidur dan bicara maka ia sedang menahan nafsunya (bermujahadah). Jangan sampai sebaliknya yaitu sedikit-sedikit makan, tidur dan bicara.

Seseorang tidak sampai kepada level derajat orang sholeh kecuali dia sudah melewati 6 fase yaitu:

  1. Ditutupnya pintu kenikmatan (makan kenyang, tidur lama dan lain-lain) dan, dibukanya pintu melakukan hal-hal yang berat (merenung, bangun malam, menulis kitab, sedikit makan dan lain-lain).
  2. Ditutupnya pintu kemuliaan, dibukanya pintu kehinaan. Misal meninggalkan kemewahan dan memilih bersifat sederhana.
  3. Ditutup pintu ketenangan, dibuka pintu berat (mujahadah).
  4. Ditutup pintu tidur, dibuka pintu berjaga. Artinya sedikit tidur dan malamnya lebih sering digunakan untuk qiyamullail dan mengkaji ilmu.
  5. Ditutup pintu kecukupan, dibuka pintu kefakiran. Diri ini fakir (tidak memiliki apa-apa) karena hanya Allah yang Maha Kaya. Hanya bersandar kepada pertolongan dari Allah.
  6. Ditutup pintu panjang angan-angan (berkhayal), dibuka pintu persiapan menuju kematian.

Penjelasan lebih lengkap bisa kamu dengar dan resapi langsung dari Ustadz Abdul Somad dengan melihat video di bawah ini.

###

Mari belajar hal lain dari Ustadz Abdul Somad di sini.

Stasiun 01 – Taubat

Qira’aah Kitab Arrisalah Al-Qushairiyyah oleh Ustadz Prof. H. Abdul Somad, Lc., MA. Ph.D

Ada banyak tahapan atau anak tangga yang perlu kita lewati dalam rangka menuju pendekatan diri kepada Allah. Atau Ibarat kita yang akan pergi dari kota awal A hingga kota tujuan Z menggunakan kereta api maka sebelum sampai akhir, kita akan berhenti di stasiun-stasiun yang berbeda. Setiap penumpang mesti berhenti di setiap stasiun itu. Dan taubat adalah stasiun pertamanya.

Taubat juga disebut sebagai maqam pertama. Maqam dalam bahasa Arab berarti tempat berdiri. Di Mekkah ada yang namanya Maqam Ibrahim yaitu cetakan kaki tempat berdirinya Nabi Ibrahim alaihi salam. Sementara di Indonesia kita menyebut makam sebagai tempat orang dikuburkan.

Ada istilah khusus untuk membahas ini yaitu Maqam dan Hal. Maqam disebut sebagai Muktasab artinya hasil usaha seorang hamba. Sedangkan Hal adalah pemberian dari Allah. Makanya Hal disebut juga dengan Mauhibah artinya anugerah atau pemberian.

Orang yang melakukan perjalanan (dalam mendekatkan diri kepada Allah) disebut dengan Salik. Perjalanannya disebut dengan Suluuk.  Diambil dari kata kerja Sa-la-ka berarti berjalan.

Hakikat Taubat dalam bahass Arab artinya ruju’ atau kembali ke jalan yang lurus. Dalam sebuah perjalanan, kita bisa saja terlalu melenceng ke kiri atau ke kanan. Saat seseorang bertaubat berarti dia sedang kembali kepada fitrahnya sebagai seorang muslim yang bertakwa. Sebagaimana anak yang lahir dalam keadaan fitrah (bersih dan suci) maka orang yang bertaubat sejatinya sedang mengembalikan dirinya untuk senantiasa bertakwa kepada Allah.

Taubat juga berarti meninggalkan perbuatan yang tercela kepada yang terpuji menurut syariat Islam. Bukan terpuji menurut lingkungan, atasan atau hal lain.

Ulama-ulama besar dari kalangan Ahlu Sunnah berkata, “Syarat sah bertaubat agar diterima oleh Allah itu ada tiga. Pertama, ia menyesali semua perbuatan buruk yang bertentangan dengan syariat Islam. Kedua, segera meninggalkan perbuatan dosa. Ketiga, memiliki tekad yang kuat untuk tidak kembali melakukan perbuatan yang sama seperti sebelumnya.”

Ketiga hal ini wajib dilakukan oleh orang yang ingin bertaubat. Jika ketiganya terpenuhi maka ia sudah sah bertaubat.

Nabi Muhammad bersabda, “Menyesal itu adalah taubat.” Jika ada orang yang bertaubat tetapi ia tidak menyesali perbuatan buruknya maka ia sesungguhnya tidak bertaubat.

Dan di antara para Muhaqqiq (ulama yang tahqiq atau paling teliti, detail dan halus ilmu kajiannya secara dzahir dan bathin) berkata, “Cukup menyesal saja sudah termasuk taubat.”

Bagaimana dengan 2 hal lainnya? Jika seseorang menyesali perbuatannya dengan kuat maka dia pasti akan segera meninggalkan dosa dan tidak mengulangi dosa yang sama.

Misalnya kalau ada orang yang mengaku sudah taubat dari narkoba dan pacaran tetapi dia masih memakai narkoba dan juga pacaran maka penyesalannya itu dusta.

Tahapan-tahapan Taubat:

  1. Membangunkan hati yang tertidur karena lalai. Hatinya menjadi terbangun dan pikirannya terbuka.
  2. Melihat dirinya sedang berada dalam keadaan buruk. Lalu ia mendengar lintasan hati berupa teguran untuk mencegah diri berbuat dosa sebab ada taufiq dari Allah.
  3. Datang keinginan untuk menjadi lebih baik.
  4. Melepaskan diri dari perbuatan dosa.
  5. Merasakan indahnya kembali ke jalan Allah.
  6. Mempersiapkan langkah-langkah bertaubat.

Langkah-langkah Taubat :

  1. Meninggalkan teman-teman yang jahat.
  2. Terus-menerus melihat atau menyaksikan hal apa saja yang bisa membuat dia tetap bertaubat. Misal dengan mengikuti kajian ilmu, dzikir, takziah dan sebagainya.
  3. Menguatkan rasa takut (khauf). Takut dimasukkan ke neraka, berbuat dosa, atau siksa kubur.
  4. Menguatkan rasa harap (roja). Berharap Allah akan mengampuni dosa, memberikan taubat nasuha dan mencurahkan rahmat-Nya.

Penjelasan selengkapnya bisa kamu kaji dari video di bawah ini :

###

Mari belajar hal lain dari Ustadz Abdul Somad di sini.

Meneladani Perasaan Nabi



Tak ada orang atau sosok yang lebih dicintai oleh muslim selain Nabi Muhammad. Kamu tidak bisa mengklaim kamu mencintai beliau tanpa mengenalnya. Kalau kamu bilang sudah cinta beliau dari hanya secuil kisah, maka jangan-jangan kamu belum jujur.

Salah satu bukti cinta adalah dengan mengenal beliau hingga pada level kamu lebih mengenalnya daripada orang lain bahkan dirimu sendiri. Seperti ketika Umar bin Khattab datang kepada Nabi lalu berkata, “Ya Rasulallah, aku mencintaimu lebih dari apapun selain diriku.”

“Belum cukup wahai Umar.”

Lalu Umar meralat dan berkata, “Aku mencintaimu melebihi cinta pada diriku sendiri.”

Beliau menjawb, “Benar, wahai Umar.”

Seharusnya seperti itu pula muslim berlaku. Ia lebih mengenal Nabi daripada keluarga, pasangan, anak, teman, tetangga atau kolega. Seorang ayah tahu betul apa yang dibutuhkan keluarga. Ibu tahu karakter anak-anaknya. Suami atau istri tahu sifat pasangannya. Anak tahu cara menyenangkan hati orang tuanya. Maka sebagai umat islam kita pun harus tahu apa yang diinginkan dan disenangi oleh Nabi. Juga tahu apa yang beliau larang dan tidak disukai.

Cara mengenal beliau adalah dengan mempelajari sunnahnya. Pertama adalah surrah artinya penampilan Nabi. Banyak yang membahas tentang penampilan Nabi seperti jenggot, sorban, jubah atau sandalnya

Kedua adalah sirah artinya perbuatan Nabi. Kehidupan Nabi secara dzohir seperti cara tidur, berdiri, jalan, shalat, sikap, dan semua tentang daily life beliau. Termasuk jihad dan dakwahnya. Kehidupan pribadi, lingkungan di sekitar, dan akitifitas di masjid.

Kedua sunnah tersebut sering dibahas namun ada satu lagi sunnah yang jarang diketahui yaitu sarirah. Sarirah artinya perasaan. Seperti apa yang membuat Nabi senang, malu, marah, berkenan, berkesan, tidak suka, sakit hati atau bagaimana cara beliau memaafkan orang lain.

Nabi adalah orang yang sangat menjaga perasaan orang lain. Beliau tidak suka memberatkan atau membebankan sesuatu kepada orang lain. Oleh karena itu yuk kenali sarirah nabi. Bukan hanya surrah atau sirah yang merupakan bagian dzohir atau yang tampak oleh mata. Kita juga harus meneladani hingga ke dalam perasaan Nabi.


###

Mari pelajari surrah, sirah dan sarirah dari guru-guru dan ulama. Salah satunya kamu bisa mengikuti kajian dari Ustadz Hanan Attaki.