Stasiun 05 – Wara’

Qira’aah Kitab Arrisalah Al-Qushairiyyah oleh Ustadz Prof. H. Abdul Somad, Lc., MA. Ph.D

Menjaga diri dari yang haram disebut taqwa. Sedangkan menjauhkan diri dari yang syubhat disebut wara’. Bicara soal wara’ bukan bicara tentang halal dan haram.

Abu Dzar Al-Ghifari berkata, “Rasul bersabda, ‘Kalau mau melihat kualitas keislaman seseorang, lihatlah bagaimana ia mampu meninggalkan hal-hal yang tidak penting menurut syariat Islam.’”

Imam Ibrahmim bin Adham berkata, “Wara’ adalah meninggalkan semua yang syubhat (samar-samar).”

Abu Bakar Siddiq radiyallahu anhu berkata, “Kami meninggalkan 70 pintu halal karena kami takut terjerumus pada satu pintu yang haram.”

Rasulullah berkata kepada Abu Hurairah, “Wahai Abu Hurairah, jadilah engkau orang yang wara’ maka engkau akan menjadi orang yang paling banyak beribadah kepada Allah.”

Imam Sirri Assaqati berkata, “Orang-orang wara’ (pada masa itu) ada enpat yaitu, Khudaifah Almurtais, Yusuf bin Asbat, Ibrahim bin Adham dan Sulaiman Alhowwas. Mereka memandang sifat wara’ dengan teliti dan seksama. Ketika khawatir akan terjerumus (pada hal haram) maka mereka segera melakukan taqollul (meminimalisir) bicara, bergaul, pandangan, pendengaran dan sikap lainnya.”

Imam Sibli berkata, “Wara’ adalah engkau menjaga dirimu dari semua hal selain Allah.”

Ishaq bin Khalaf berkata, “Wara’ adalah orang yang menjaga lidah (ucapan) dari perkataan buruk. Menjaga lidahnya ini lebih berharga daripada emas.”

Imam Abu Sulaiman Addarani berkata, “Wara’ adalah langkah pertama sebelum zuhud. Sedangkan qanaah itu satu sisi dari ridha.”

Imam Abu Usman berkata, “Orang yang wara’ itu hisabnya ringan.”

Imam Yahya bin Muadz berkata, “Orang wara’ itu jika ilmu sudah berkata ‘jangan’ maka dia tidak aka melakukan tanpa perlu banyak interpretasi (tidak ngeyel).”

Imam Abdullan bin Aljalla berkata, “Aku mendengar ada seseorang yang tinggal di Mekkah selama tiga puluh tahun. Dia tidak pernah minum air zamzam kecuali dengan menggunakan tali dan timba miliknya sendiri. Dia tidak mau makan makanan yang dikirim dari kota lain.”

Yahya bin Muadz berkata, “Wara’ itu memiliki dua sisi yaitu dzohir dan bathin. Wara’ pada  dzohir adalah dia hanya bergerak  (beramal) untuk Allah. Sedangkan wara’ pada bathin artinya tidak ada yang masuk ke dalam hatimu kecuali hanya Allah. “

Imam Yunus bin Ubaid berkata, “Wara’ adalah keluar dari semua hal yang samar-samar (syubhat) dan selalu instropeksi diri dalam setiap kedipan mata.”

Imam Syufan Assauri berkata, “Wara’ itu mudah. Kalau kamu merasa hatimu sempit (menolak melakukan sesuatu yang berkaitan dengan syubhat) maka tinggalkan.”

Imam Ma’ruf berkata, “Jagalah lisanmu dari terlalu banyak memuji-muji orang sebagaimana kamu menjaga lisanmu dari mencaci-maki orang.”

Imam Bisr bin Harits berkata, “Amal yang paling berat itu ada tiga. Pertama, mampu menjadi orang dermawan padahal dirinya dalam keadaan terbatas (sedikit harta). Kedua, mampu menjaga diri dari yang syubhat (bersikap wara’) meskipun tak ada orang lain yang melihat. Ketiga, mampu berkata tegas kepada orang yang ditakuti dan disegani.”

###

Penjelasan lebih lengkap bisa kamu dengar dan resapi langsung dari Ustadz Abdul Somad dengan melihat video di bawah ini.

Mari belajar hal lain dari Ustadz Abdul Somad di sini.

 

 

 

 

Stasiun 04 – Taqwa

Qira’aah Kitab Arrisalah Al-Qushairiyyah oleh Ustadz Prof. H. Abdul Somad, Lc., MA. Ph.D

Orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang bertaqwa. Bukan yang paling kaya, tinggi jabatannya, cantik, tampan, hebat dan mashur melainkan orang yang paling takut kepada Allah.

Abu Said Alhudri bercerita, “Datang seorang laki-laki menjumpai nabi Muhammad shollalahu alaihi wassalam dan dia berkata, ‘Wahai nabi utusan Allah, berilah aku wasiat (pesan).’ Nabi Muhammad bersabda, ‘Hendaklah engkau takut kepada Allah (taqwa). Karena taqwa itu adalah kumpulan semua kebaikan. Hendaklah engkau berjihad karena jihad itu adalah rohbaniyyah  Hendaklah engkau banyak mengingat (berdzikir) Allah karena dzikir itu adalah cahaya bagimu.’”

Anas bin Malik berkata, “Yang disebut sebagai keluarga Muhammad itu adalah setiap orang mukmin yang bertaqwa.”

Hakikat taqwa adalah berlindung dari adzab Allah dengan taat kepada-Nya. Menjaga diri dari api, siapkan air. Menjaga diri dari hujan, siapkan payung. Menjaga diri dari panas, siapkah kipas. Dan jika kita mau menjaga diri dari adzab Allah yaitu dengan selalu taat kepada-Nya.

Awal ketaqwaan itu bermula dari menjaga diri dari kemusyrikan. Kemudian menjaga diri dari berbuat maksiat dan perbuatan jahat. Setelah itu menjaga dari hal yang samar-samar (syubhat). Dan terakhir meninggalkan perkara-perkara yang tidak penting.

Kalau mau melihat kualitas keislaman seseorang, lihatlah bagaimana cara dia meninggalkan ucapan dan tindakan atau perbuatan yang tidak penting bagi dirinya.

Imam Nushrobaji berkata, “Taqwa adalah orang yang menjaga dirinya dari yang selain Allah.”

Imam Abdilah Arruzbari berkata, “Taqwa adalah meninggalkan segala sesuatu yang membuatmu jauh dari Allah.”

Sifat orang yang bertaqwa (Attaqi) itu ada tiga yaitu tidak mengotori dzohirnya dengan hal yang bisa membuat lalai dari Allah, batinnya tidak dikotori dengan banyak alasan (saat ingin berbuat baik), dan dia mengalahkan nafsu dan memilih untuk mengikuti perintah Allah.

Ibnu Attha berkata,”Taqwa itu ada dzohir dan batin. Dzohirnya taqwa adalah dengan menjaga batasan (perintah dan larangan) yang telah ditetapkan oleh Allah. Batinnya taqwa adalah ada niat baik dan mensucikan niat hanya karena Allah subhanahu wataala.

Jika ada muslim yang ditanya kenapa ia tidak solat lalu ia menjawab, “Yang penting hati saya sudah bertaqwa.” Itu tidak benar. Sebab taqwa bukan hanya soal batin. Dzohirnya taqwa (dalam contoh ini adalah solat) mesti tetap ia kerjakan. Islam mengajarkan bahwa solat itu ada waktunya. Dalam sehari terdapat 5 kali waktu untuk solat. Jika ada yang tidak solat dengan alasan taqwanya sudah ada di hati maka itu tidak benar.

Sama halnya dengan perempuan muslimah yang diwajibkan memakai hijab. Lalu ada orang yang mengatakan, “Yang penting hatinya dulu yang berhijab.” Itu juga tidak benar.

Bertaqwalah dengan sebaik-batiknya taqwa. Berislamlah dengan sepenuhnya, jangan sepotong-sepotong.

Keterangan :

Rohbaniyyah artinya memutuskan diri dari hal yang lain untuk fokus beribadah.

###

Penjelasan lebih lengkap bisa kamu dengar dan resapi langsung dari Ustadz Abdul Somad dengan melihat video di bawah ini.

Mari belajar hal lain dari Ustadz Abdul Somad di sini.

Stasiun 03 – Uzlah

Qira’aah Kitab Arrisalah Al-Qushairiyyah oleh Ustadz Prof. H. Abdul Somad, Lc., MA. Ph.D

Setelah Taubat dan Mujahadah maka stasiun berikutnya dalah Khalwat dan Uzlah. Secara sederhana, Khalwat artinya pergi dari tempat keramaian menuju tempat sunyi atau menyepikan diri. Sedangkan Uzlah artinya mengasingkan diri dari keramaian.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Cara manusia untuk keluar dari kondisi sedang terjadi fitnah, hiruk-pikuk, huru-hara perang ada dua. Pertama, ambil tali kekang kudamu, duduklah di atas kuda dan yang kau cari adalah mati syahid atau berperang untuk mempertahankan akidah. Kedua, jika kamu tidak sanggup berjihad seperti itu maka naiklah ke atas bukit atau turunlah ke bawah lembah lalu sholatlah, bayar zakatlah dan memperbanyak ibadah hingga mati.” (Hadits Riwayat Muslim)

Sudah sampaikah kita di zaman yang banyak fitnah itu? Sebagian ulama mengatakan kita sudah sampai dan sedang menjalaninya. Inilah dasar orang untuk melakukan khalwat dan uzlah.

Etika melakukan uzlah:

  1. Mesti memiliki akidah dan keimanan yang kuat. Karena di tempatnya uzlah bisa terjadi banyak godaan dan gangguan dari setan.
  2. Memiliki ilmu syariat (fiqih shalat dan ibadah lain) supaya bangunan yang ia bangun itu menjadi kokoh.

Tujuan dari uzlah bukan sekedar meninggalkan kampung halaman tetapi mengubah sifat-sifat buruk yang ada di dalam diri menjadi lebih baik. Uzlah merupakan sebuah proses pendekatan diri kepada Allah.

Seseorang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah mesti melakukan khalwat dan uzlah ini supaya ia tidak bertumpu kepada orang lain. Hanyalah Allah sebagai satu-satunya penolong. Karena ketika seseorang terlalu berharap, bersandar dan mengandalkan bantuan dari orang lain maka saat orang itu tak ada, ia akan kehilangan semangat hidup dan tak tahu harus berbuat apa.

Orang yang sedang uzlah dilatarbelakangi oleh keinginan untuk melindungi orang lain dari kejahatan dirinya. Bukan uzlah karena takut akan kejahatan orang lain kepada dirinya. Jadi ini tentang melihat kepada diri sendiri.

Orang yang uzlah itu terbagi kepada dua. Pertama, orang yang menganggap dirinya kecil, rendah, hina dan tak punya apa-apa. Kedua, orang yang merasa dirinya lebih mulia, zuhur, pintar dan terhormat daripada orang lain. Kita mesti mengetahui apa motivasi seseorang itu melakukan uzlah. Uzlah dengan alasan yang pertama itulah uzlah yang benar.

Siapa saja orang yang memandang dirinya hina, kecil, rendah, bukan siapa-siapa dan tak punya apa-apa maka dialah orang yang tawadhu. Siapa saja yang merendahkan dirinya (melepaskan kesombongan) maka Allah yang akan meninggikan derajatnya.

Siapa saja orang yang merasa dirinya itu lebih tinggi daripada orang lain maka sesungguhnya dialah orang sombong. Tak akan masuk Surga seseorang jika di dalam dirinya terdapat kesombongan meskipun sebesar biji sawi.

Kamu yang sedang atau sudah uzlah, tanyalah kepada dirimu, mengapa kamu uzlah? Apakah karena alasan yang pertama atau kedua?

###

Penjelasan lebih lengkap bisa kamu dengar dan resapi langsung dari Ustadz Abdul Somad dengan melihat video di bawah ini.

Mari belajar hal lain dari Ustadz Abdul Somad di sini.

Stasiun 02 – Mujahadah

Qira’aah Kitab Arrisalah Al-Qushairiyyah oleh Ustadz Prof. H. Abdul Somad, Lc., MA. Ph.D

Mujahadah diambll dari tiga huruf yaitu jim, ha dan dal. Dari akar kata ini pula muncul kata ­jihad, ijtihad, dan mujtahid. Mujahadah artinya berjuang melawan hawa nafsu.

Nabi Muhammad shollallahu alaihi wassalam pernah ditanya, “Jihad apa yang paling utama?” Beliau menjawab, “Jihad yang paling utama adalah berani mengatakan keadilan di hadapan penguasa dzalim dan jahat.”

Contoh orang yang berani seperti itu adalah Nabi Musa kepada Firaaun dan Nabi Ibrahim kepada Namrud. Keduanya mengatakan kebenaran kepada raja yang dzalim. Juga Nabi Muhammad kepada pemimpin-pemimpin Mekkah yang kala itu masih kafir.

Apa korelasi antara mujahadah dengan keberanian mengutarakan kebenaran dan keadilan?

Banyak orang yang mampu menahan lapar, nafsu amarah atau bahkan menahan sakit. Tetapi tidak banyak orang yang berani mengatakan kebenaran kepada pemimpin yang dzalim. Jika ada orang yang berlaku seperti itu maka resikonya juga besar. Orang-orang ada yang tahu akan kebenaran tetapi tidak mau mengatakannya kepada pemimpin atau rajanya. Mereka takut akan keselamatan, kedudukan atau status sosialnya di masyarakat akan berubah. Ternyata ada nafsu yang lebih bahaya daripada nafsu makan, minum dan sex yang tidak terkontrol yaitu nafsu mendekatkan diri kepada kekuasaan.

Fi kulli harokah, barokah. Artinya dalam setiap pergerakan ada keberkahan. Misal jika berdzikir dengan menggerakkan tangan atau memakai tasbih (perbuatan dzohir) maka akan datang keberkahan ke dalam batinnya.

Manusia terdiri dari dzohir dan batin. Yang tampak dan tidak tampak. Tapi ada orang yang mengatakan bahwa manusia itu hanya terdiri dari yang tampak saja. Ada mata, telinga, lidah dan semua anggota tubuh. Tak ada unsur batin. Kepercayaan atau filsafat seperti ini disebut Filsafat Wujudiah. Wujud (tampak) disebut sebagai materi oleh orang-orang barat. Pemahaman tentang hal ini disebut juga sebagai materialisme. Pernah mendengar kalimat seeing is believeing? Yaitu kepercayaan hanya pada yang tampak saja. Sedangkan di Islam tidak seperti itu.  Kita mempercayai ada hal ghaib. Tuhan kita ghaib. Malaikat ghaib. Meskipun tak tampak tetapi kita bisa merasakannya.

Dasar mendekatkan diri kepada Allah itu ada 3 yaitu:

  1. Jangan makan kecuali benar-benar lapar.
  2. Jangan tidur kecuali sudah kantuk yang sangat berat.
  3. Jangan bicara kecuali hal yang sangat penting.

Artinya jika seseorang bisa sedikit makan, tidur dan bicara maka ia sedang menahan nafsunya (bermujahadah). Jangan sampai sebaliknya yaitu sedikit-sedikit makan, tidur dan bicara.

Seseorang tidak sampai kepada level derajat orang sholeh kecuali dia sudah melewati 6 fase yaitu:

  1. Ditutupnya pintu kenikmatan (makan kenyang, tidur lama dan lain-lain) dan, dibukanya pintu melakukan hal-hal yang berat (merenung, bangun malam, menulis kitab, sedikit makan dan lain-lain).
  2. Ditutupnya pintu kemuliaan, dibukanya pintu kehinaan. Misal meninggalkan kemewahan dan memilih bersifat sederhana.
  3. Ditutup pintu ketenangan, dibuka pintu berat (mujahadah).
  4. Ditutup pintu tidur, dibuka pintu berjaga. Artinya sedikit tidur dan malamnya lebih sering digunakan untuk qiyamullail dan mengkaji ilmu.
  5. Ditutup pintu kecukupan, dibuka pintu kefakiran. Diri ini fakir (tidak memiliki apa-apa) karena hanya Allah yang Maha Kaya. Hanya bersandar kepada pertolongan dari Allah.
  6. Ditutup pintu panjang angan-angan (berkhayal), dibuka pintu persiapan menuju kematian.

Penjelasan lebih lengkap bisa kamu dengar dan resapi langsung dari Ustadz Abdul Somad dengan melihat video di bawah ini.

###

Mari belajar hal lain dari Ustadz Abdul Somad di sini.

Stasiun 01 – Taubat

Qira’aah Kitab Arrisalah Al-Qushairiyyah oleh Ustadz Prof. H. Abdul Somad, Lc., MA. Ph.D

Ada banyak tahapan atau anak tangga yang perlu kita lewati dalam rangka menuju pendekatan diri kepada Allah. Atau Ibarat kita yang akan pergi dari kota awal A hingga kota tujuan Z menggunakan kereta api maka sebelum sampai akhir, kita akan berhenti di stasiun-stasiun yang berbeda. Setiap penumpang mesti berhenti di setiap stasiun itu. Dan taubat adalah stasiun pertamanya.

Taubat juga disebut sebagai maqam pertama. Maqam dalam bahasa Arab berarti tempat berdiri. Di Mekkah ada yang namanya Maqam Ibrahim yaitu cetakan kaki tempat berdirinya Nabi Ibrahim alaihi salam. Sementara di Indonesia kita menyebut makam sebagai tempat orang dikuburkan.

Ada istilah khusus untuk membahas ini yaitu Maqam dan Hal. Maqam disebut sebagai Muktasab artinya hasil usaha seorang hamba. Sedangkan Hal adalah pemberian dari Allah. Makanya Hal disebut juga dengan Mauhibah artinya anugerah atau pemberian.

Orang yang melakukan perjalanan (dalam mendekatkan diri kepada Allah) disebut dengan Salik. Perjalanannya disebut dengan Suluuk.  Diambil dari kata kerja Sa-la-ka berarti berjalan.

Hakikat Taubat dalam bahass Arab artinya ruju’ atau kembali ke jalan yang lurus. Dalam sebuah perjalanan, kita bisa saja terlalu melenceng ke kiri atau ke kanan. Saat seseorang bertaubat berarti dia sedang kembali kepada fitrahnya sebagai seorang muslim yang bertakwa. Sebagaimana anak yang lahir dalam keadaan fitrah (bersih dan suci) maka orang yang bertaubat sejatinya sedang mengembalikan dirinya untuk senantiasa bertakwa kepada Allah.

Taubat juga berarti meninggalkan perbuatan yang tercela kepada yang terpuji menurut syariat Islam. Bukan terpuji menurut lingkungan, atasan atau hal lain.

Ulama-ulama besar dari kalangan Ahlu Sunnah berkata, “Syarat sah bertaubat agar diterima oleh Allah itu ada tiga. Pertama, ia menyesali semua perbuatan buruk yang bertentangan dengan syariat Islam. Kedua, segera meninggalkan perbuatan dosa. Ketiga, memiliki tekad yang kuat untuk tidak kembali melakukan perbuatan yang sama seperti sebelumnya.”

Ketiga hal ini wajib dilakukan oleh orang yang ingin bertaubat. Jika ketiganya terpenuhi maka ia sudah sah bertaubat.

Nabi Muhammad bersabda, “Menyesal itu adalah taubat.” Jika ada orang yang bertaubat tetapi ia tidak menyesali perbuatan buruknya maka ia sesungguhnya tidak bertaubat.

Dan di antara para Muhaqqiq (ulama yang tahqiq atau paling teliti, detail dan halus ilmu kajiannya secara dzahir dan bathin) berkata, “Cukup menyesal saja sudah termasuk taubat.”

Bagaimana dengan 2 hal lainnya? Jika seseorang menyesali perbuatannya dengan kuat maka dia pasti akan segera meninggalkan dosa dan tidak mengulangi dosa yang sama.

Misalnya kalau ada orang yang mengaku sudah taubat dari narkoba dan pacaran tetapi dia masih memakai narkoba dan juga pacaran maka penyesalannya itu dusta.

Tahapan-tahapan Taubat:

  1. Membangunkan hati yang tertidur karena lalai. Hatinya menjadi terbangun dan pikirannya terbuka.
  2. Melihat dirinya sedang berada dalam keadaan buruk. Lalu ia mendengar lintasan hati berupa teguran untuk mencegah diri berbuat dosa sebab ada taufiq dari Allah.
  3. Datang keinginan untuk menjadi lebih baik.
  4. Melepaskan diri dari perbuatan dosa.
  5. Merasakan indahnya kembali ke jalan Allah.
  6. Mempersiapkan langkah-langkah bertaubat.

Langkah-langkah Taubat :

  1. Meninggalkan teman-teman yang jahat.
  2. Terus-menerus melihat atau menyaksikan hal apa saja yang bisa membuat dia tetap bertaubat. Misal dengan mengikuti kajian ilmu, dzikir, takziah dan sebagainya.
  3. Menguatkan rasa takut (khauf). Takut dimasukkan ke neraka, berbuat dosa, atau siksa kubur.
  4. Menguatkan rasa harap (roja). Berharap Allah akan mengampuni dosa, memberikan taubat nasuha dan mencurahkan rahmat-Nya.

Penjelasan selengkapnya bisa kamu kaji dari video di bawah ini :

###

Mari belajar hal lain dari Ustadz Abdul Somad di sini.

Gigih dan Pantang Menyerah

Cikaracak ninggang batu, laun-laun jadi legok. Ini adalah salah satu peribahasa dalam bahasa Sunda yang berarti air yang terus-menerus menetesi batu maka batu itu pun lama-kelamaan akan berlubang. Hal ini memiliki makna bahwa kegigihan seseorang dalam melakukan sesuatu pada akhirnya akan membuahkan hasil meskipun membutuhkan waktu lama. Continue reading “Gigih dan Pantang Menyerah”