Aku memiliki sepupu bernama Aji. Usianya dua tahun lebih tua dariku. Rumah kami berjauhan. Dia tinggal di kota yang berbeda. Tetapi Ikatan saudara itu semakin erat ketika dia masuk ke pondok pesantren (ponpes) yang sama denganku. Meskipun dia lebih tua tapi aku yang lebih dulu masuk ke ponpes selepas lulus SD. Pengurus asrama menempatkan Aji agar sekamar denganku. “Biar saling menjaga”, ujarnya waktu itu.
Aji memilih masuk SMA yang sama dengan kakakku. Dan dua tahun kemudian aku menyusulnya masuk ke sekolah tersebut. Mungkin ini bisa disebut tradisi dari keluarga kakek kami. Anak dan cucunya banyak yang belajar di ponpes dan sekolah yang sama. Pada pos ini aku tak akan membahas tentang kehidupan nyantri di ponpes. Ini tentang Aji.
Kalau kamu sering melakukan sesuatu, biasanya orang di sekitar akan mengingatmu dengan hal itu. Seperti Aji yang mahir bermain gitar, maka hingga sekarang aku mengingatnya dia sebagai seorang gitaris. Aji sudah bisa bermain dengan senar-senar gitar sejak SMP. Ketika masuk ponpes tentu bakat itu tak bisa tersalurkan karena aturan waktu itu, santri tidak diperbolehkan membawa instrumen musik. Tapi bakat Aji tetap terpelihara di SMA. Di sana ia memiliki banyak kesempatan untuk berlatih bersama teman-temannya. Bahkan Aji membentuk sebuah band.
Aku adalah orang yang duduk di pojokan ketika Aji berlatih gitar. Aku si orang yang hanya bisa kagum dengan kemahiran seseorang. Keinginanku untuk belajar gitar diketahui Aji. Dia sempat mengajariku. Dasar aku yang payah, semua ajarannya tidak bisa aku serap. Aku buta nada. Harapan agar terlihat keren di hadapan perempuan karena bisa bermain gitar menjadi pudar. Bahkan hingga Aji lulus sekolah, kemampuanku bermain gitar tidak berkembang sama sekali meskipun sudah berlatih.
Gitar sepertinya memang bukan bagian dari bakat yang diberikan Tuhan kepadaku. Setiap orang memiliki bakatnya masing-masing. Aku mungkin tak akan bisa seperti Aji atau seberbakat master fingerstyle Alip Ba Ta. Setidaknya aku masih bisa menulis. Karena tidak banyak juga orang yang bisa melakukan aktivitas ini. Sedikit demi sedikit, tahun demi tahun, aku mengasah kemampuan supaya bisa menulis lebih baik. Salah satunya belajar dari penulis kawakan seperti Andrea Hirata.
Tulisanku tentang Aji ini pun terinspirasi saat membaca novelnya berjudul Maryamah Karpov. Ada satu kondisi sama yang aku alami. Jika aku kesulitan belajar bermain gitar maka Andrea bercerita tentang biola.
Ibarat sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui, berikut adalah setitik adegan dari novel itu. Kita bisa belajar cara Andrea bercerita, sekaligus merasakan bagaimana sulitnya mempelajari sesuatu yang memang tak ada bakat di dalamnya.
Suatu hari nanti, aku akan bisa menulis sebagus atau lebih baik daripada dia.
Kuhampiri Nurmi. Kukatakan padanya aku ingin belajar mai biola. Ia tersenyum dan mengenalkan padaku empat senar los bernada, G, D, A dan E. Dengan piawai ia membunyikan skala nada tiga oktaf dari senar terendah, senar pertama paling atas, G tadi, sampai senar paling bawah A. Demikian maksudnya. Tapi tak sedikit pun kupahami. Kusadari, aku buta nada dan sangat tidak musikal. Dalam enam bulan akubelum tentu dapat melakukan seperti yang baru saja Nurmi pertontonkan.
Nurmi menyerahkan biola padaku.
“Pegang saja, Pak Cik.”
Aku gugup.
Seumur hidup baru kali ini aku menyentuh biola. Instrumen ini begitu artistik. Gelap, berwibawa. Seperti ada nyawa dalam rongganya. Seperti ada sejarah tercatat pada serat-seratnya. Alat ini hanya berhak dipegang orang berjiwa musik yang menjunjung tinggi seni. Orang itu bukan aku. Peganganku adalah kapak, tambang dan gerinda.
Aku sering terpaku mendengar orang main biola. Getaran dawainya mampu menimbulkan suara yang membuat hati menggeletar. Tak semua alat musik memiliki kekuatan semacam itu. kini ia berada di tanganku, berkilat, melengkung dingin menjaga jarak, anggun, sekaligus sangat rapuh. Biola bukanlah benda sembarangan. Ia terhormat seperti tubuh perempuan.
Aku bahkan tidak bisa memegangnya dengan benar. Namun, waktu biola itu kusampirkan di pundakku, aku disergap perasaan nyaman yang tak dapat kujelaskan. Nurmi tertawa melihat kaku sikapku. Tampak jelas aku dilahirkan memang bukan sebagai seorang pemain biola. Jemariku terlalu kasar untuk senar-senarnya yang halus. Telapak tanganku terlalu besar untuk stangnya yang ramping. Daguku tak padan untuk disandarkan pada kelok pinggangnya nan elok. Di pundak Nurmi, biola itu menyatu, bak bagian dari indranya, seperti kepanjangan anggota tubuhnya. Sementara di pundakku, biola itu laksana benda asing yang terang-terangan memusuhiku.
Tangan kiriku menggenggam leher biola, mataku melirik empat baris dawai. Sekali lagi aku takjub. Dawai-dawai itu menukik seperti sebuah jalan cahaya. Jalan menuju keindahan musik. Aku sama sekali tak tahu apa yang kulakukan. Aku mencoba menggesek nada terendar senar pertama, los senar. Biola berbunyi, napasku tertahan karena jerit suaranya langsung menerobos ke dalam jiwaku.
Magis.
Nurmi mengatakan dengan menggesek sesuka hati itu, aku, tanpa sedikit pun kusadari, baru saja mengambil nada G. Katanya, aku dapat melanjutkan nada berikutnya dalam sebuah skala, dan aku tak peduli. Aku tak ambil pusing akan tangga nada dan aku tak hirau dengan segala skala. Aku hanya ingin membuktikan hipotesa Lntang bahwa kesulitan apa pun dapat diatasi dengan mengubah cara pandang. Seperti caraku melihat perahu, bagiku sekarang, biola adalah benda akustik dengan senar-senar yang tunduk pada fisika akustik.
###
View My Daily Post