Halo, Viewers ! Apa kabar? Semoga Anda berada dalam keadaan sehat wal’afiat baik jiwa maupun raga. Nikmat sehat mesti kita syukuri karena ketika Anda sakit, banyak hal tidak enak terjadi kepada diri Anda. Pada kesempatan ini Seven Views akan membahas tentang 7 Penyakit hati yang berada di dalam diri manusia.
Penyakit adalah sesuatu yang menyerang sebuah sistem dalam tubuh. Penyakit bisa disebabkan oleh virus, bakteri dan sebagainya. Tubuh manusia sering terkena penyakit. Misalnya penyakit influenza yang mengganggu sistem pernafasan manusia. Ternyata tidak hanya tubuh saja yang mempunyai penyakit. Hati manusia juga memiliki penyakit atau musuh yang selalu menyerang setiap saat. Kita harus mengenali ‘musuh’ hati ini supaya dapat mencegah serangannya, mempersiapkan senjata penangkalnya dan mengatur strategi yang lebih baik dalam melawannya. Jika kita sudah mengetahui ‘musuh’ maka kita akan selalu waspada setiap saat. Kita juga harus mengetahui apa ‘obat penawar’ dari penyakit hati tersebut.
Hati (bahasa Arab : Qalbu) adalah bagian yang sangat penting dari manusia. Jika hati kita baik, maka baik pula seluruh amal kita. Imam Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Bahwa dalam diri setiap manusia terdapat segumpal daging, apabila ia baik maka baik pula seluruh amalnya, dan apabila ia rusak maka rusak pula seluruh perbuatannya. Gumpalan daging itu adalah hati.”
Apa sajakah 7 penyakit hati itu? Tujuh Penyakit hati itu adalah Pride, Envy, Lust, Greed, Sloth, Wrath dan Gluttony. Mari kita bahas satu per satu dari ketujuh penyakit hati ini beserta obat penawarnya.
1. Pride X Tawadhu’
Penyakit hati yang pertama adalah Pride. Pride memiliki arti sombong, angkuh, besar kepala, merasa dirinya paling benar, paling kuat. Sombong terjadi ketika seseorang merasa lebih dari orang lain. Apakah ia merasa lebih kuat, lebih pintar, lebih tampan, lebih cantik, lebih kaya, lebih punya segalanya. Dan perbuatan sombong adalah dosa.
Seperti yang kita ketahui, dulu Iblis diusir dari Surga dan menjadi musuh utama manusia ketika ia menolak untuk bersujud kepada Nabi Adam. Dengan sombongnya ia mengatakan bahwa dirinya lebih mulia daripada Nabi Adam. Ia diciptakan dari api sedangkan Nabi Adam diciptakan dari tanah. Dulu Iblis adalah hamba Allah yang taat beribadah selama ribuan tahun, namun kesombongan telah merubah dirinya menjadi musuh manusia yang dilaknat oleh Allah.
Ibnu Athailah Assakandari dalam kitab Al-Hikam menulis, “Man atsbata li nafsihi tawadhuan fahuwa almutakabbiru haqqan!” Artinya, “Siapa yang yakin bahwa dirinya merasa tawadhu’ maka berarti dia benar-benar telah takabur.” Kalimat lainnya adalah “Laisa almutawadhi’u al-lazi idza tawadha’a ra’a annahu fauqa ma shana’.” Artinya, “Bukanlah orang yang tawadhu’ atau merendahkan diri, seseorang yang jika merendahkan diri merasa dirinya di atas yang dilakukannya.” Misalnya, ada orang yang merasa tawadhu’ dengan duduk di belakang suatu majelis, tapi pada saat yang sama ia merasa tempat yang pantas bagi dirinya adalah di atas itu, yaitu duduk di bagian depan majelis. Maka orang seperti itu menurut Ibnu Athailah Assakandari bukanlah orang yang tawadhu’. Bahkan sejatinya adalah orang yang sombong. Atau misalnya ada orang yang merasa tawadhu’, merasa telah merendahkan diri dengan datang ke suatu tempat menggunakan sepeda ontel, tapi dia merasa dirinya sebenarnya pantas di atas itu, yaitu menggunakan motor. Maka orang seperti ini bukan orang yang merendahkan dirinya tapi orang yang sombong.
Lantas siapakah orang yang benar-benar tawadhu’? Ibnu Athailah menjelaskan, “Walakin almutawadhi’ idza tawadha’a ra-a annahu duna ma shana’a.” Artinya, “Tetapi orang yang benar-benar merendahkan diri adalah orang yang jika merendahkan diri merasa bahwa dirinya masih berada di bawah sesuatu yang dilakukannya.” Misalnya, ada orang yang dipaksa duduk di bagian depan suatu majelis, ia akhirnya duduk di sana tapi ia merasa sesungguhnya dirinya lebih pantas duduk di belakang. Atau misalnya di masyarakat ada orang yang dimuliakan dan dihormati banyak orang, ia selalu merasa dirinya belum pantas menerima penghormatan seperti itu. Itulah orang yang tawadhu’.
Sahabat Viewers yang saya hormati, Tawadhu’ adalah sifat orang-orang mulia. Tawadhu’ adalah sifat para nabi dan rasul. Kebalikan dari tawadhu’ adalah takabur, sombong. Ulama sepakat bahwa takabur itu diharamkan dalam islam. Sombong adalah sifat milik Allah saja, yang berhak memiliki hanya Allah. Tidak boleh ada satu makhluk pun yang menyaingi Allah dalam hal ini. Siapa yang menyaingi Allah dan merasa berhak memiliki sifat takabur maka dia berarti merasa menjadi Tuhan manusia. Orang yang seperti ini pasti mendapat murka dari Allah. Dalam sebuah hadits Qudsi, Allah berfirman, “Sombong adalah selendang-Ku dan agung adalah pakaian-Ku. Siapa yang menyaingi-Ku dalam salah satu dari keduanya maka akan Aku lempar dia ke dalam neraka Jahannam.”
Karena rasa sayang dan cinta, Allah memerintahkan Rasulullah SAW untuk tawadhu’. Lalu karena rasa sayang dan cinta juga Rasulullah memerintahkan kepada kita untuk tawadhu’. Diriwayatkan oleh Imam Muslim, Ibnu Majah dan Abu Daud bahwa Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT memerintahkan aku agar tawadhu’, jangan sampai ada salah seorang yang menyombongkan diri pada orang lain, jangan sampai ada orang yang congkak kepada orang lain.”
Contoh yang menggetarkan jiwa kita adalah beliau sama sekali tidak risih menjadi pengembala kambing. Dengan menggembala kambing, beliau tidak hanya merendahkan diri pada manusia juga pada binatang. Beliau tidak canggung hidup di tengah-tengah kambing yang bau dan kotor. Beliau menjaga dan melayani kambing dengan penuh kasih sayang. Jika ada kambing yang melahirkan beliau membantu persalinannya. Tidak ada jarak antara beliau dengan kambing yang digembalakannya. Rasulullah tawadhu’ tidak hanya pada manusia juga pada binatang ternak yang digembalakannya.
Contoh sifat tawadhu’ Rasulullah yang lain adalah beliau masih mau memakan makanan yang jatuh ke tanah. Dapat kita baca dalam Sirah Nabawiyyah bahwa setiap ada makanan yang jatuh ke tanah, Rasulullah SAW tidak membiarkannya. Beliau pasti mengambilnya dan membersihkannya. Beliau membuang kotoran seperti debu yang menempel padanya lantas memakannya. Beliau selalu menjilati jari-jarinya setelah makan. Beliau tidak merasa risih akan hal itu sama sekali.
Anas bin Malik, pembantu Rasulullah menjelaskan jika Rasul makan, beliau menjilati jari-jarinya tiga kali. Anas meriwayatkan, Rasulullah bersabda, “Jika makanan kalian jatuh maka buanglah kotorannya dan makanlah dan jangan meninggalkannya untuk setan!”
Para sahabat nabi juga menghiasi dirinya dengan sifat tawadhu’. Suatu hari Ali bin Abi Thalib membeli kurma satu dirham dan membawanya dalam selimutnya. Saat itu Ali bin Abi Thalib adalah khalifah yang memimpin umat islam seluruh dunia. Ada seorang lelaki melihatnya dan berkata padanya, “Wahai Amirul Mukminin, tidakkah kami membawakannya untukmu?” Ali menjawab dengan merendahkan diri, “Kepala keluarga lebih berhak membawanya.”
Sahabat Viewers yang saya cintai, sejarah membuktikan hancurnya seseorang juga hancurnya suatu bangsa diantaranya adalah kesombongan dan kecongkakan yang dilestarikan. Seorang ulama menjelaskan hakekat sombong adalah jika seseorang merasa pantas dibesarkan padahal sejatinya tidak pantas. Jika seseorang merasa pantas menempati suatu derajat padahal ia belum pantas.
Bangsa kita akan bisa binasa jika masih banyak orang-orang yang sombong. Bahkan sombong yang telah membudaya. Misalnya, ada seseorang yang masuk Fakultas Kedokteran dengan membayar uang yang berjuta-juta rupiah jumlahnya kepada pihak universitas. Ia tetap memaksakan diri masuk Fakultas Kedokteran. Ia merasa pantas. Padahal sejatinya ia tidak pantas. Nilainya masih kurang. Tapi ia merasa pantas karena memiliki uang. Kepantasan itu bahkan ia beli dengan uang. Ia tidak hanya sombong. Lebih sombong lagi, ia membiayai kesombongannya itu. Maka yang akan jadi korban selain dirinya sendiri adalah bangsa kita sendiri. Nanti akan muncul di negeri ini, ribuan dokter yang tidak tahu apa-apa. Sehingga malpraktek ada di mana-mana.
Ada juga maskapai penerbangan yang sombong. Sebenarnya tidak pantas dan tidak layak terbang. Tapi merasa layak terbang. Merasa layak dibesarkan. Ia mempropagandakan perusahannya sedemikian menyilaukan. Padahal pesawatnya adalah barang rongsokan. Pilotnya belum lulus jam terbang. Tapi ia sombong, ia merasa layak terbang. Akibatnya jika demikian, kebinasaanlah yang datang berulang-ulang.
Juga, banyak orang merasa layak jadi pemimpin. Merasa layak jadi negarawan yang mengatur bangsa. Padahal mengatur diri sendiri saja tidak bisa. Mengatur keluarganya saja tidak bisa. Tapi ia merasa layak ditinggikan sebagai pengatur negara. Sesungguhnya yang mendorong itu semua adalah kesombongannya. Maka jika sudah demikian, hukuman dari Allah tinggal ditunggu kapan datangnya. Naudzubillahi mindzalik!
Banyak orang menjadi sombong dan menganggap rendah orang lain karena jabatan, kekayaan, atau kepintaran. Bahkan Fir’aun yang takabur menganggap rendah Allah dan menganggap dirinya sebagai Tuhan. Kenyataannya Fir’aun adalah manusia yang akhirnya mati karena tenggelam di laut.
Allah melarang kita untuk menjadi sombong. Allah berfirman :
“Janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” (QS Al Israa’ Ayat 37)
“Janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia karena sombong dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS Luqman Ayat 18)
Allah menyediakan neraka jahannam bagi orang yang sombong. Allah berfirman :
“Masuklah kamu ke pintu-pintu neraka Jahannam, sedang kamu kekal di dalamnya. Maka itulah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang sombong .” (QS Al Mu’min Ayat 76)
Kita tidak boleh sombong karena saat kita lahir kita tidak punya kekuasaan apa-apa. Kita tidak punya kekayaan apa-apa. Bahkan pakaian pun tidak. Kecerdasan pun kita tidak punya. Namun karena kasih-sayang orang tua, kita akhirnya jadi dewasa. Begitu pula saat kita mati, segala jabatan dan kekayaan akan hilang. Kita dikubur dalam lubang yang sempit dengan pakaian seadanya yang nanti akan lapuk dimakan zaman.
Imam Al Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddiin menyatakan bahwa manusia janganlah sombong karena sesungguhnya manusia diciptakan dari air mani yang hina dan dari tempat yang sama dengan tempat keluarnya kotoran. Bukankah Allah mengatakan pada kita bahwa kita diciptakan dari air mani yang hina. “Bukankah Kami menciptakan kamu dari air yang hina?” (QS Al Mursalaat Ayat 20). Saat hidup pun kita membawa beberapa kilogram kotoran di badan kita. Jadi bagaimana mungkin kita masih bersikap sombong?

Sahabat Viewers yang saya cintai, bagaimana cara mengobati penyakit hati sombong? Untuk mengobatinya diperlukan sebuah obat hati yang bernama Tawadhu. Makin berisi makin merunduk. Begitulah peribahasa ‘ilmu padi‘ yang sering kita dengar. Dalam syari’at Islam yang mulia pun diajarkan hal yang serupa yaitu tawadhu’.
Pada uraian di atas diceritakan bagaiamana Nabi Muhammad, seorang nabi yang mulia memberikan contoh dan ajaran kepada umatnya untuk memelihara sifat tawadhu dalam hidup. Sifat tawadhu yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad adalah sifat yang terpuji. Dalam Al-Qur’an menyebutkan pujian bagi orang-orang yang tawadhu’ dan mengancam orang yang sombong. Tidak ada keutamaan seseorang terhadap yang lain kecuali nilai takwanya. Allah عزّوجلّ berfirman :
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS Al-Hujurot [49]: 13)
Maka yang menjadi ukuran adalah ketakwaan, bukan banyaknya harta, tingginya pangkat atau kemuliaan nasab (keturunan). Takwa adalah barometer dalam segala perkara. Tidak akan bermanfaat harta, pangkat dan keturunan kecuali diiringi dengan takwa. Salah satu perangai ketakwaan yang dianjurkan dalam agama adalah sifat tawadhu’.
DEFINISI TAWADHU’
Tawadhu’ secara bahasa bermakna rendah terhadap sesuatu. Sedangkan secara istilah adalah menampakkan perendahan hati kepada sesuatu yang diagungkan. Ada juga yang mengatakan tawadhu’ adalah mengagungkan orang karena keutamaannya. Tawadhu’ adalah menerima kebenaran dan tidak menentang hukum. Tidak ada yang mengingkari, tawadhu’ adalah akhlak yang mulia. Yang menjadi pertanyaan, kepada siapa kita merendahkan hati. Allah عزّوجلّ menyifati hamba yang dicintai-Nya dalam firman-Nya :
“Yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir.” (QS. Al-Maidah [5]: 54)
SYARAT TAWADHU’
Tawadhu’ adalah akhlak yang agung dan ia tidak sah kecuali dengan dua syarat, yaitu :
- Ikhlas karena Allah عزّوجلّ semata. Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda : “Tidaklah seseorang tawadhu’ karena Allah, kecuali Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim : 2588)
- Kemampuan. Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda: “Barangsiapa yang meninggalkan pakaian karena tawadhu’ kepada Allah padahal dia mampu, maka Allah akan memanggilnya pada hari kiamat di hadapan seluruh makhluk hingga Allah memberinya pilihan dari perhiasan penduduk surga, ia bisa memakainya sekehendaknya.”
MACAM-MACAM TAWADHU’
- Tawadhu’ yang terpuji. Yaitu tawadhunva seorang hamba ketika melaksanakan perintah Allah عزّوجلّ dan meninggalkan larangan-Nya. Karena jiwa ini secara tabiat akan mencari kesenangan dan rasa lapang serta tidak ingin terbebani sehingga akan menimbulkan keinginan lari dari peribadatan dan tetap dalam kesenangannya. Maka apabila seorang hamba mampu menundukkan dirinya dengan melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, sungguh ia telah tawadhu’ dalam peribadatan.
- Tawadhu’ yang tercela. Yaitu tawadhunya seseorang kepada orang yang mempunyai pangkat dunia karena berharap mendapat bagian dunia darinya. Orang yang memiliki akal sehat dan selamat tentunya ia akan berusaha meninggalkan tawadhu’ tercela ini dan akan berusaha berhias dengan sifat tawadhu’ yang terpuji.
MUTIARA SALAF SEPUTAR TAWADHU’
- Sahabat mulia Abu Bakar As-Shiddiq رضي الله عنه berkata: “Kami mendapati kemuliaan dalam ketakwaan, kecukupan dalam keyakinan dan kehormatan dalam tawadhu’.”
- Ummul Mukminin Aisyah رضي الله عنها berkata: “Kalian telah melupakan ibadah yang paling afdhal yaitu tawadhu’.”
- Fudhail bin Iyadh رحمه الله pernah ditanya tentang tawadhu’, beliau menjawab: “Tawadhu’ adalah engkau tunduk terhadap kebenaran, mengamalkan dan menerimanya dari orang yang mengucapkannya. Sekalipun mendengarnya dari seorang anak kecil maka ia akan menerimanya atau walaupun mendengarnya dari manusia yang paling bodoh maka ia akan tetap menerimanya.”
- ‘Urwah bin Wardi رحمه الله berkata: “Tawadhu’ adalah salah satu tujuan kemuliaan. Setiap nikmat pasti ada yang hasad kecuali tawadhu’.”
- Ibrohim bin Adham رحمه الله berkata: “Tidak pantas bagi seseorang untuk merendahkan dirinya di bawah kedudukannya. Dan janganlah dia mengangkat dirinya di atas kedudukannya”.