Assalamualaikum warohmatullahi wabarakatuh!
Alkisah, suatu waktu, Rasulullah Muhammad shollalahu alaihi wassallam didatangi oleh orang-orang Quraisy yang merasa bahwa dakwah beliau sudah mulai mengancam kepentingan-kepentingan mereka. Lantas mereka mengajak Abu Thalib untuk melobi Rasulullah dan bertanya sebenarnya apa yang beliau inginkan. Mereka mengira beliau menginginkan harta, tahta dan wanita.
Mereka datang dan berusaha membujuk Rasulullah untuk menghentikan dakwahnya. Mereka menawarkan harta sehingga Rasulullah akan menjadi orang yang paling kaya di Mekkah. Beliau juga ditawari tahta supaya ia memiliki kedudukan paling tinggi dan bebas memilih wanita manapun yang Rasulullah inginkan. Tapi tawaran mereka itu ditolak mentah-mentah oleh Rasulullah.
“Seandainya matahari itu bisa diletakkan di tangan kanan dan bulan di tangan kiriku maka aku tidak akan meninggalkan urusan dakwah ini sampai Allah memenangkanku atau aku mati di dalamnya.”
Jawaban Rasulullah sangat tegas sekali tetapi orang-orang Quraisy tidak hilang akal. Mereka mencoba untuk menyimpangkan niatan ketataan Rasulullah dengan tawaran lain.
“Ya Rasulullah, bagaimana kalau seandainya kita gantian saja. Kami akan menyembah tuhanmu selama satu tahun dan engkau menyembah tuhan kami selama satu tahun.”
Artinya mencampuradukkan ibadah yang satu dengan lainnya. Maka saat itulah menjadi sebab turunnya (asababul nujul) surat Al-Kafirun.
Turunlah surat Alkafirun yang berisi prinsip seorang muslim bahwa ia tidak menyembah apa yang disembah oleh orang kafir dan begitu pula sebaliknya. Dan prinsip terakhir adalah prinsip toleransi yang diberikan oleh Allah, lakum diinukum waliyaddin. Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.
Yang sedang seru sekarang adalah saat orang-orang berbicara tentang toleransi, mereka lupa bahwa toleransi bukanlah mengajak orang lain dengan apa yang kita yakini. Sebab yang demikian itu disebutnya dakwah (mengajak). Begitu juga ketika kita mengajak orang di luar islam untuk mengenal Islam, disebutnya pula sebagai dakwah. Bukan toleransi. Apa itu toleransi?
Toleransi sesungguhnya adalah kita mengetahui ibadah-ibadah dalam Islam dan mengamalkannya dan tidak memaksa orang lain mengikutinya. Jadi lebih kepada bagaimana sikap kita terhadap orang lain bukan memaksa orang lain untuk mengikuti kita. Maka aneh ketika dikatakan toleransi orang muslim terhadap orang Nashrani yang merayakan Natal adalah dengan mengikuti perayaan mereka. Atau memakai atribut-atribut yang mereka pakai, mengunjungi tempat ibadah dan mengatakan selamat saat perayaan hari raya mereka. Ini bukan toleransi tapi seperti yang kita lihat dari asababun nujul surat Alkafirun yaitu mencampuradukkan antara haq (kebenaran) dan bathil (keburukan).
Toleransi dalam Islam, kita meyakini bahwa Allah itu satu. Tapi kita tidak memaksa mereka untuk meyakini bahw Allah itu satu. Biarkan mereka dengan pemahamannya, kita dengan pemahaman sendiri. Kalaupun kita mengajak mereka kepada Islam maka itu adalah bentuk dari dakwah.
Toleransi adalah membiarkan mereka merayakan apa yang mereka yakini tanpa kita ikut campur dengannya. Mengapa? Karena ini adalah permasalahan akidah. Dan segala sesuatu yang terpancar melalui akidah, seperti mengikuti ibadah mereka, itu adalah haram untuk muslim.
Mereka merayakan hari rayanya, itu adalah bagian dari ibadah mereka. Dan ibadah-ibadah mereka ini, kita tidak boleh mengikutinya. Sebab lakum diinukum waliyaddin. Biarkan mereka dengan ibadahnya, kita dengan ibadah sendiri.
Ada yang mengatakan, “Tapi kan itu kan cuma kata-kata saja kalau mengatakan selamat.”
Setiap kata-kata ada konsekuensinya. Seseorang yang mengucap kalimat syahadat artinya dia sudah beragama Islam dan beriman serta memiliki konsekuensi untuk mengikuti ajarannya. Seorang ayah yang menikahkan putrinya dengan seorang lelaki dan lelaki itu menjawab, “Saya terima nikah dan kawinnya Fulanah bin Fulan dengan mas kawin tersebut dibayar tunai” juga memiliki konsekuensi. Ia sudah menikahi seorang perempuan dan memilik tanggung jawab untuk menafkahi, menjaga dan merawatnya. Mengucapkan, “Saya talaq kamu,” juga memiliki konsekuensinya sendiri. Jadi jangan menganggap sepele sesuatu dengan dalih bahwa itu hanya kata-kata. Karena pembeda iman dan kafir adalah kata-kata juga.
Ada yang mengatakan, “Kita cuma menghormati, kok.”
Penghormatan tidak selalu harus dengan ucapan dan mengikuti. Penghormatan tidak harus dengan lebur dan larut ke dalam perayaan agama orang lain.
Seseorang yang mengikuti ajaran agamanya bukan disebut fanatik melainkan memiliki prinsip. Ketika kita tidak menjalankan agama tapi justru mengikuti ajaran agama orang lain inilah yang disebut sebagai orang yang tidak memiliki prinsip.
Ingatlah, setan itu tidak menyesatkan manusia secara langsung. Setan akan sesatkan manusia sedikit demi sedikit hingga akhirnya aktivitas agama Islam dan kafir menjadi tidak ada bedanya. Mereka melakukan ini, kita pun melakukannya. Kecenderungannya sama.
Kalau mereka masih tersinggung lantaran kita tidak mengikuti ibadah mereka, maka pertanyaannya ialah siapa sebenarnya yang tidak toleransi?
Toleransi kaum muslim adalah lakum diinukum waliyaddin.
###
Kajian selengkapnya bisa ditonton di bawah ini:
Yuk kaji ilmu lainnya di sini.